Selasa, 28 Juni 2011

Corporate Social Responsibility

Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility  adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung  jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Beberapa waktu yang lalu  kita selalu disuguhi berita kebocoran minyak di Teluk Meksiko yang disebabkan meledaknya anjungan lepas pantai yang dimiliki BP (British Petroleum) tanggal 20 April 2010 lalu. Kasus besar ini mengharuskan presiden AS Barack Obama turun tangan langsung untuk menekan BP, tindakan yang sempat menyebabkan ketegangan antara AS dan Inggris (selain karena menyandang nama besar British, BP juga merupakan salah satu perusahaan kebanggaan Inggris).
Insiden tersebut bisa saja dianggap sebagai kecelakaan, tetapi penyelidikan lebih lanjut menunjukkan adanya kelalaian disengaja dari pihak BP yang mengakibatkan tragedi lingkungan terbesar dalam 10 tahun terakhir ini. Hasil penyelidikan menunjukkan BP sering mengambil langkah-langkah yang dianggap riskan demi menghemat biaya operasional. Beberapa waktu sebelum ledakan, beberapa karyawan BP sempat meminta penggantian salah satu suku cadang yang bermasalah, namun ditolak oleh BP. Di samping itu, dalam sepuluh tahun terakhir, BP kedapatan melakukan 750 pelanggaran (97% dari seluruh pelanggaran yang dilakukan semua perusahaan sejenis!) Singkatnya, tragedi tersebut disebabkan pelanggaran etika bisnis oleh BP.
Karena dalam kasus di atas terlihat jelas bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba, wajar bila kita berkesimpulan bahwa di dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanyalah bersikap baik dan sopan kepada para pemegang saham. Memang harus diakui kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal untuk para pemegang sahamnya. Fokus tersebut membuat perusahaan yang berpikiran jangka pendek berupaya dengan segala cara melakukan apa saja untuk menaikkan keuntungan. Tekanan kompetisi karena globalisasi dan konsumen yang semakin rewel sering dijadikan alasan.
Berkaca pada contoh kasus di atas, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang melihat etika dan bisnis berasal dari dua dunia yang berbeda. Penerapan standar etika yang tinggi di perusahaan sebenarnya mampu memberikan keuntungan dalam dua hal sekaligus. Selain untuk membangun corporate image dan reputasi yang bagus, perusahaan juga bisa memandang penerapan standar etika yang tinggi sebagai bagian dari risk management untuk mengurangi resiko jangka panjang perusahaan.
Doug Lennick dan Fred Kiel (2005) dan buku mereka Moral Intelligence, menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Tentu saja yang penting untuk diperhatikan di sini adalah penekanan terhadap kata jangka panjang. Para pemilik modal dan manajer perusahaan yang berpikiran pendek tentu sulit menerima logika ini karena beretika dalam bisnis jarang memberikan keuntungan segera. Karena itu, sistem organisasi terutama sistem insentif harus mempertimbangkan pencapaian prestasi jangka panjang dan penerapan nilai-nilai etika sebagai salah satu faktor penilaian dan promosi. Sistem audit dan kontrol juga harus diperketat untuk mendeteksi secepat mungkin penyimpangan yang terjadi dan menghukum para pelanggar etika tanpa memandang bulu. Kepemimpinan yang menjunjung tinggi etika dan memberi teladan jelas sangat dibutuhkan juga. Tanpa hal-hal seperti itu, etika dalam perusahaan hanyalah omong kosong.
Peran pemerintah juga sangat penting. Seperti yang dijelaskan di atas, perusahaan publik sering mendapatkan tekanan dari para pemegang saham untuk menghasilkan keuntungan secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya. Tanpa adanya kerangka hukum yang memberi ruang gerak bagi manajemen perusahaan untuk lolos dari tekanan tersebut, sulit kiranya menghindari desakan yang bersifat jangka pendek tersebut.
Kita berharap perusahaan-perusahaan dan pemerintah Indonesia bersedia melihat etika perusahaan secara lebih serius. Peran masyarakat  terutama melalui badan-badan pengawasan, LSM, media, dan menjadi konsumen yang kritis   juga sangat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan standar etika bisnis di Indonesia. Sangat disesalkan, misalnya, kasus pelanggaran etika bisnis di Indonesia, termasuk yang mengancam jiwa konsumen sering hanya mendapatkan porsi berita ala kadarnya dan tidak ada penyelidikan yang serius dari pemerintah.

3 komentar: